Center Indonesia Batu Bara, 4 Mei 2025 – Penutupan akses jalan Simpang Simodong di Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, yang dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) menuai keresahan masyarakat. Warga menilai tindakan tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta mengganggu ketertiban dan kenyamanan masyarakat.
Ketua PW Fast Respon Nusantara (FRN) DPW Kepulauan Riau, Eliaser Simanjuntak, menyampaikan bahwa tindakan penutupan dilakukan tanpa sosialisasi dan klarifikasi yang jelas kepada warga. Jalan Simodong disebut telah digunakan masyarakat sejak tahun 1969 dan merupakan jalan kabupaten yang dibangun oleh Otorita Asahan pada tahun 1975.
"Penutupan jalan ini dilakukan tanpa koordinasi yang baik dan menimbulkan kesan bahwa PT KAI seolah 'lempar batu sembunyi tangan'. Kami hanya ingin kejelasan status hukum dari penutupan ini," ujar Eliaser.
Menurut pihak PT KAI, penutupan dilakukan karena jalur tersebut dikategorikan sebagai “perlintasan liar”, mengacu pada Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tentang perkeretaapian. Namun, Eliaser mempertanyakan dasar hukum yang digunakan untuk menyebut Simpang Simodong sebagai perlintasan liar, mengingat status jalan tersebut diakui oleh kepala desa setempat sebagai jalan resmi kabupaten.
Lebih lanjut, pembangunan Frontage Road sebagai pengganti jalur yang ditutup juga dipertanyakan efektivitas dan penggunaannya oleh warga. Proyek yang disebut menelan biaya miliaran rupiah itu dinilai tidak menjadi solusi bagi masyarakat, karena tidak menghubungkan langsung ke permukiman warga, melainkan hanya ke fasilitas publik seperti sekolah dan tempat ibadah.
Eliaser mengaku telah bersurat kepada Pimpinan PT KAI Divre I Sumatera Utara, Sofan Hidayah, sejak 21 April 2025, namun hingga kini belum mendapat tanggapan. Surat tersebut juga ditembuskan kepada sejumlah pejabat daerah dan pusat, termasuk Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution dan Kapolda Sumut Irjen Whisnu Hermawan Febrianto.
Ia berharap agar kebijakan pembangunan infrastruktur transportasi tetap menjunjung prinsip keadilan sosial, mengutamakan keselamatan tanpa mengabaikan aspirasi masyarakat lokal. "Jangan sampai proyek strategis justru menimbulkan ketidaknyamanan dan melemahkan kemandirian masyarakat," tegasnya.
(Desi suarni)